Rabu, 02 Maret 2016

Menyorot KInerja CSR

MENYOROT KINERJA STAKEHOLDERS
DALAM MENOPANG PEMBANGUNAN EKONOMI
BERKELANJUTAN
By: Suharman Noerman,

Expert member PPO SAG of ISO 2600 Social responsibility*)

Prolog
Laporan ekonomi Bank Dunia (IndonesianEconomicquarterly Report October 2015) pertumbuhan ekonomi Indonesia 2015 adalah 4.7% diramal hanya akan menaik sebesar 0.6% atau menjadi 5.3%ditahun 2016. Dengan demikian tahun-tahun kedepannya (2-3 tahun) akan tetap menjadi tahun-tahun sulit, apalagi mengahadapi kelesuan pergerakan ekonomi regional (south east asia) 6.5% atau dibawahnya, dan ekonomi global yang hanya bergerak sebesar3.8%.

Indonesia adalah negeri poros maritim dunia dengan sumber daya alam melimpah namun jika Indonesia masih sulit untuk menjadi negara maju secara ekonomi tentu ada factor yang sangat serius perlu di cermati, kelemahan dan permasalahan tersebut padan umumya ada dalam ranah Sosial dan Lingkungan, jika Kita memakai teori John Elkington (1997) tentang People (Social), Planet (Lingkungan hidup) dan Profit (ekonomi).
Sepertinya isu-isu sosial adalah ranah yang sangat luas sebutlah korupsi, governansi yang lemah, praktik operasi yang adil, penegakan hukum dan HAM, pendidikan dan pemberdayaan masyarakat, serta keamanan dan perdamaian dll.
Dalam konteks ini Stakeholders Indonesia memiliki dinamika yang tidak seimbang, persepsi yang belum setara (equal), serta budaya dan praktek yang berbeda, sehingga kinerja belum maksimal di berbagai sector dan lini pembangunan.
Kekhawatiran lain di tahun kedepan adalah dampak pilkada serentak tidak berhasil melahirkan peimpin lokal yang lebih kredibel dengan kinerja yang lebih baik melalui dukungan penuhatau justru melahir konflik-konflik baru sisa sebagai proses demokrasi yang tidak terkelola secara baik dan sehat (fair).
Aspek ketidak puasan atas politik kotor dapat memicu para pihak melakukankegiatan yang anarkis sehingga berpotensi menghancur kehidupan sosia ekonomi dan lingkungan masyarakat itu sendiri pada daerah dimaksud.
Pada tengah desember 2015 saja misal telah mulai terjadi gerakan masa yang potensial anarkis seperti pengepungan kantor KPU untuk menuntut keadilan atas proses Pilkada yang dinilai curang alias tidak fair, politik uang, dengan istilah serangan fajar, membayar saksi, menarok orang di KPU dan lain sebagainya.

CSR atau Social Responsibility (SR) Outlook 2016 adalah tulisan otokritis bagi perjalanan bangsa Indonesia atas dinamika social berbagai pihak pemangku kepentingan pembangunan (stakeholders) yang dirangkum dari berbagai sumber dan mengamati fakta perkembangan selama 2015 atau tahun sebelumnya dan trendnya di tahun mendatang.

CSR/SR Outlook 2016 adalah bagian tak terpisah dari Outlook Ekonomi Indonesia, ia diharapkan dapat memberikan gambaran bahwa ekonomi adalah pranata akhir yang dibangun diatas pranata system dan kinerja lingkungan dan social , karena ketiga nya menjadi pillar penting dalam budaya pembangun berkelanjutan dalam suatu Negara melalui peran organisasi /lembaga formal maupun informal ataupun korporasi sebagai bagian mesin ekonomi utama suatu bangsa.
Herman Daley, dan new paradigm on 3 P mensetir bahwa ‘ ekonomi yang kuat hanyaakanada diatas fondasi pilar lingkungan dan pilarsocial yang kokoh/ baik”

Refleksi 2015 dan Rapor Merah Kinerja Stakeholders di Indonesia ?
Corruption Perception Index (CPI) 2014 yang diterbitkan secara global oleh Transparency International menempatkan Indonesia sebagai negara dengan level korupsi yang tinggi. Dalam CPI 2014 tersebut, Indonesia menempati posisi 117 dari 175 negara di dunia dengan skor 34 dari skala 0-100 (0 berarti sangat korup dan 100 berarti sangat bersih). Korupsi secara khusus disebut menempati urutan teratas dari 18 (delapan belas) faktor penghambat kemudahan berusaha di Indonesia. Kondis ini juga tidak banayak bebreda dengan laporan yang dikeluarkan pada tiga tahun sebelumnya (2011).

Peneliti Setara Institute Ismail Hasani mengatakan indeks persepsi kinerja Hak Asasi Manusia (HAM) Indonesia 2013 mengalami penurunan bila dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
“Tren penurunan pada tahun ini menggambarkan akumulasi kekecewaan publik terhadap negara, khususnya pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang hingga akhir masa jabatannya, dianggap tidak menunjukkan kesungguhan dalam memajukan, melindungi dan memenuhi HAM,”. Ismail juga mengatakan, indeks persepsi kinerja HAM pada 2013 berada pada nilai 2,25. Nilai tersebut menurun bila dibandingkan 2012 (2,82), 2011 (2,30) dan 2010 (2,53). Indeks persepsi kinerja HAM yang disurvei Setara Institute berada pada skala nol hingga tujuh.
Menurut Ismail, kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyonoi gagal memanfaatkan momentum stabilitas politik dan ekonomi pada 10 tahun terakhir, terutama untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM di masa lalu.
“Sebanyak 52,4 persen responden menilai SBY memiliki komitmen rendah pada pemajuan HAM. Bahkan, ” tuturnya.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla gagal memberikan perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM).

Dalam rilisnya Senin (19/10), KontraS mencatat berbagai kasus pelanggaran HAM di Indonesia selama setahun pemerintahan Jokowi-JK, 20 Oktober ini.
“Kalau menggunakan indikator 1-10, kinerja pemerintahan sekarang terkait HAM adalah 3 atau 4,” kata Badan Pekerja KontraS, Haris Azhar kepada Beritagar.id, Selasa (20/10)( beritagar.id )

Bencana kabut asap pada setiap tahunnya dan baru-baru ini sebagai perilaku buruk dalam mengelola alam adalah sudah berdampak secara serius bagi kehidupan ekonomi dan social suatu Negara (baik lokal, regional ataupun nasional). Kabut asap sudah menurunkan kinerja ekonomi industry airline dan sector jasa lainnya, berhentinya mayoritas aktifitas socialdan organisasi kerja pemerintahan , berhentinya kegiatan sekolah dan menurunnya kesehatan ibu dan anak dan masyarakat luas dll.
Dampak ekonomi akibat kebakaran hutan dan lahan di Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari Rp200 trilliun, melebihi kerugian pada tahun 1997, padahal jumlah lahan yang terbakar jauh lebih sedikit.

Peneliti Center for International Forestry Research (CIFOR), Herry Purnomo, menjelaskan hitungannya itu didasarkan pada angka kerugian pada tahun 1997 ditambah dengan kerugian yang dialami Malaysia dan Singapura.
“Musim kemarau lebih panjang dan asap lebih luar biasa daripada tahun 1997-1998 kalau saya tambah US$9 miliar plus kerugian yang ada di Singapura dan Malaysia masing -masing US$2 miliar, jadi US$13 miliar, ditambah faktor seperti angka inflasi, jadi bisa bervariasi antara US$14 miliar hingga US$20 miliar, tergantung angka inflasi yang kita terapkan,” jelas Herry
Upaya pemadaman kebakaran hutan dan lahan sulit dilakukan.
BNPB sudah menganggarkan Rp385 miliar untuk pemadaman lahan dan hutan yang terbakar.Sekitar 22 ribu petugas diterjunkan untuk memadamkan kebakaran hutan.

Bencana korupsi juga mengganggu kinerja ekonomi suatu bangsa dimana penyelewanganfinansial bisa berimplikasi atas tidak tercapainya target pertumbuhan dan perkeonomian dan kualitas infrastruktur yang buruk dan pelemahan nadi pembangunan secara jangka panjang. Korupsi sebagai penyakit social juga telah menggiring Negara-negara memiliki hutang yang besar dan bahkan mungkin dililit hutang. (hutang Indonesia saat ini versi BI: per Juli 2015 sebesar US$ 303,7 milyar atau mencapai Rp 4.376,3 triliun pada kurs 1 US Dollar = Rp.14,410 termasuk hutang swasta US $. 127 Milyar).

Pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW), penunggakan kasus dugaan korupsi di Kejaksaan Tinggi dan Kepolisian Daerah dengan kerugian negara akumulatif sedikitnya mencapai Rp5,16 triliun selama 2010—2014 terkait dengan belum maksimalya kinerja aparat hukum.

Wilayah itu adalah Jawa Timur (64 kasus, Rp269 miliar); Sulawesi Selatan (56 kasus, Rp97 miliar); Sumatra Utara (51 kasus, Rp1,28 triliun); Jawa Barat (46 kasus, Rp325 miliar); NAD (46 kasus, Rp338 miliar), Riau (45 kasus, Rp1,5 triliun); NTT (40 kasus, Rp.609 miliar); Jambi (39 kasus, Rp64 miliar); Maluku (34 kasus, Rp36 miliar); dan Jawa Tengah (29 kasus, Rp111 miliar).
*( harian terbit.com ).

Hasil audit forensik terhadap Pertamina Energy Trading Ltd (Petral) menyebutkan terjadi anomali dalam pengadaan minyak pada 2012-2014. Berdasarkan temuan lembaga auditor Kordha Mentha, jaringan mafia minyak dan gas (migas) telah menguasai kontrak suplai minyak senilai US$ 18 miliar atau sekitar Rp 250 triliun selama tiga tahun. *( tempo.com )
Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said, ada beberapa perusahaan yang memasok minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM) kepada PT Pertamina (Persero) melalui Petral pada periode tersebut. Namun, setelah diaudit, kata Sudirman, semua pemasok tersebut berafiliasi pada satu badan yang sama. Badan itu menguasai kontrak US$ 6 miliar per tahun atau sekitar 15 persen dari rata-rata impor minyak tahunan senilai US$ 40 miliar.“Ini nilai kontrak yang mereka kuasai, bukan keuntungan,” kata Sudirman kepada Tempo, Selasa 10 November 2015 .*(tempo.com).

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan, kerugian negara sebesar Rp3.000 triliun karena tindak pencurian ikan dan beragam tindak pidana bukanlah angka buatan tetapi melalui perhitungan.

Dalam infografis program kerja nyata Jokowi-JK Restorasi Maritim Indonesia, disebutkan potensi perikanan RI mencapai Rp 363 triliun. Namun karena maraknya praktik pencurian ikan, sumber pendapatan yang dapat diraup hanya Rp 63 triliun.
“Kerugian akibat illegal fishing per tahun mencapai Rp 300 triliun,” sebut infografis tersebut dikutip Jumat (4/7/2014). *(harian terbit.com, emaritim .com).
Fenomena dunia global pun memberi andil perburukan bagi kinerja SR stakeholders kita,
Konflik perebutan sumber daya alam (seperti minyak dan gas) dengan berdalil keamanan ancaman teroris dan demokrasi telah memicu konflik senjata dan peperangan serta terjadi pelanggaran HAM atas hak-hak hidup warga sipil yang membuat mereka migrasi kenegara tetangga sehingga menimbulkan persoalan social dan seterusnya persoalan social ekonomi dan pangan dinegara tujuan.
Kasus pengusungsi Suriah misalnyasudah dirasakan mengaggu kenyaan dan keamanan Negara-negara Eropah sebagaitujuan migrasi jutaan orang.

ISO 26000 SR Guidance (Pedoman) menuju kinerja Stakeholders ekselen
Pada tahun 2002 atas desakan pasar (konsumen) kepada Copolco, ISO menerima proposal penyusunan dokumen Tanggung Jawab Sosial dari Copolco yang akan difungsikan sebagai Pedoman (Guidance) bagi semua lembaga/organisasi tidak peduli besar kecil nya dan dimanapun organisai tersebut berada/beroperasi. Ide awalnya didasarkan kepada melihat keasadaran konsumen secara global atas lemahnya praktek CSR pada beberapa perusahaan multinasional yang beroperasi di manca Negara. Dokumen tersebut dikenal belakang ini dengan ISO 26000 Social Responsibility (SR), dipublikasi akhir nya pada awal November tahun 2010, di Geneva. 8 tahun penyusunan dokumen menyebabkan dokumen ini dikenal produk “terunik” dalam sejarah penyusunan dan publikasi produk standar ISO.

Beberapa keunikan dimaksud adalah, disusun oleh 6 stakeholders group dan disupport oleh hampir 40 lembaga kredibel secara internasional serta sekitar 100 badan standar dunia yang tergabung dalam keanggotaan 1SO (including BSN-Indonesia).

6 unsur stakeholders yang mesuplai anggota ahli pada working group SR expert (WGSR Expert) meeting selama 8 tahun melalui roadshow kota-kota dunia dunia tersebut adalah Unsur Pemerintah (government), Industri (industry), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Serikat Pekerja (Labor), Lembaga/aktivis Konsumen (Consumer), dan Praktisi /Proffessional Independent dsiebut SSRO :Service Support Research and Others)(spt: Peneliti, Akademisi, dan Konsutan). Dokumen ISO 26000 Social Responsiility Standards adalah non mandatory document yang berperan sebagai Pedoman (Guidance) serta bukan dokumen untuk sertifikasi (not certifiable document).
Beberapa kota-kota dunia yang menandai proses penyusunan dokumen selama WGSR (Working Group SR) expert meeting adalah Lisbon, Bangkok, Salvador, Sydney, Vienna, Santiago, Quebec, Denmark. Roadshow ke kota-kota sekaligus disamping mnegenal budaya, sosial kultural Negara tuan rumah (host) juga menjadi media sosialisasi dokumen jauh lebih awal sehingga semua stakehoders di masing-masing kawasan tersebut aware dan memiliki rasa ownership yang baik atas dokumen dimaksud kelak.

Menandai 5 tahun publikasi ISO 26000 maka pada 20-21 November 2015 baru-baru ini telah berlangsung International Conference on ISO 26000 di Stockholm Swedia, yang diahadiri sekitar 100 partisipan ahli dari sekitar 30 Negara anggota ahli PPO SAG expert sebagai pengawas dokumen ISO 26000 dimaksud. Forum tersebut nerupakan sharing terbaik atas best practice SR secara global yang berbasis ISO 26000. Pertemuan tersebut memberi pesan bahwa SR adalah menjadi arus utama (mainstreaming ) dalam meningkatkan kinerja organisasi apapun dalam partisipasi dan kontribusi mereka pada pembangunan berkelanjutan (sustainable development) melalui penataan system organiasi / kelembagaan berbasis ISO 26000 , baik yang telah secara keseluruhan dan maupun partial mengadopsi dokumen Social responsisbility standard terdebut.

Lebih jauh 5 tahun dokumen SR tersebut memberi sinyal bahwa target dokumen untuk menjadi daya tarik sangat signifikan dimana hampir 80% Negara anggotar telah melakukan adopsi dan sedang melakuakn (termasuk Indonesia). Merupakan tools menuju SDGs melalui menjadi bagian norma global dalam dimensi keberlanjutan lainnya antara lain:

SR sebagai mainstream pembangunan
Menandai 5 tahun publikasi ISO 26000:2010 dari SwedenInternational Conference on SR (ISO 26000) 20 Oktober 2015 yang lalu dihadiri sekitar 100 ahli dari 30 negara. Kegembiraan adalah adanya trend yang lebih baik akan kesadaran baru secara equal sertapersepsi keys Stakeholders atas SR secara siginificant.

6 stakeholders pembangunan yang hadir (Pemerintah , Industry, NGO/LSM, Labor/Serikat pekerja, Consumer/Konsumen, SSRO/Akademisi, Konsultan dan Proffessional) melaporkan bahwa di Negara mereka SR menjadi sebuah mainstream baru mendukung kinerja ekonomi maupun bisnis. Pertemuan tersebut juga memberikan pesan penting bahwa: kebaikan bangsa-bangsa di dunia hanya akan tercipta jika para stakeholder memiliki paradigm yang equal (setara) tentang prinsip dan pokok-pokok masalah Social: Social Responsibility) serta menjadikan nya budaya keseharian.

Sebagai media untuk mencapai Pembangunan Umat Manusia Bekemakmuran dan Bekelanjutan.
Menurut ISO 26000, SR adalah isu-isu pokok yang berkaitan dengan,
1.Organizational Governance,
2.Human Rights,
3. Labor practices,
4. The environment,
5. Fair operating practices,
6. Consumer issues dan
7. Community Involement and development.

SR sebagai tools Keberlanjutan dan Sustainability sebagai new opportunity
SR adalah tools keberlanjutan demikian para ahli PPO SAG SR berpendapat maka dengan dengan demikian ISO 26000 menjadi link dokumen dengan berbagai norm dan prinsip kerja keberlanjutan seperti dengan Organization on Economic Cooperation andDevelopment (OECD) Guideline, United Nations on Guiding Principles on Business and Human Rights (UN GP BHR), United Nations Global Compact (UN GC), Global reporting Initiatives (GRI-4), Sustainable Development Goals (SDGs) atau apa yang disebut “Global Goals” sebagai tindak lanjut Milleneium Development Goals (MDGs) yang belum maksimal pencapaian sampai dengan awal 2015 termasuk Indonesia, bahkan ISO 26000 expert akan menyusun panduan SR bagi jutaan Smal Medium Enterpries(SMEs)dan Small Medium Organizations (SMOs) yang keberadaan mereka juga melekat dalam kontribusi pembangunan ekonomi nasional maupun regional secara mikro dan menjadi tulang punggung (backbond) dimasa sulit.Namun effort mereka tidak boleh destruktif terhadap keberlanjutan itu sendiri, aspek keramah-lingkungan, tatakelola yang baik menjadi penting dengan jumlah mereka yang sangat banyak.

Gerakan Radikal,Integralbukan Parsialuntuk organisasi apapun
Organisasi apapun (ekonomi dan non ekonomi) yang medeklarasikan dirinya sebagai penggiat dan partisipan pembangunan ekonomi berkelanjutan di Indonesia, kedepan membutuhkan konsep social responsibility yang radikal kuatmulai dari nilai dasar (norma), konsep, strategy, serta pendekatan yang sesuai dengan karakter stakehordernya, tersistem dan terintgrasi (bukan parsial) dalam manajemen organisasinya dan ditopang oleh sebuah leadership yang kredibel.
Sistem manajemen SR yang kuat dengan leadership yang ekseslen kan menjadi budaya kerja modern dalam aspek tanggung jawab social dalam mencapai tujuan orgnaisasi bersama stakeholdersnya.
Setiap organisasi memilikai KPI yang terukur dalam satuan waktu merujuk aspirasi stakekholdersnya dalam pencapaian cita-cita dan tujuan sesuai cita-cita bersama apa yang disebut global goals (suatainable developments goals).

Prasyarat menjadi Negara maju di kawasan Asia maka Bangsa Indonesia harus segera menajadi Indonesia Baru dengan nilai dan sistem tanggung jawab sosial yang baru dan kuat. Yang dijadikan sebagai pengarusan utamaan(mainstream) pembangunan yang mampu merubah pola fikir dan budaya kerja para pemimpin dan organisasi pada semual tingkat dan sector berserta satekholders pembangunan itu sendiri.

SR di 2016 sesuatu yang berat?
Ratusan sengketa pilkada serentak sudah memasuki MK, Hiruk pikuk perpecahan partai besar, silang pendapat sesama menteri di kabinet Jokowi-Jk yang masih terus akan bergulir, perilaku etis sebagian oknum anggota dewan yang terhomat yang masih bermasalah, lemahnya penegakkan hukum dan HAM dan ditopang oknum penegak hukum yang kotor, merefleksikan perpecahan masyarakat dalam pola fikir, sikap dan etikayang kurang memiliki “SR awareness”, bagi keberlanjutan Indonesia.

Ditambah denganKinerja ekonomi yang terus akan melambat seiring melambatnya perkeonomian global dan regional.
Indonesia membutuh SR yang kuat secara fundamental melalui system untuk medapat mandate dalam menggerakan roda perekonomiannya. Saat nya bekerja keras dalam aspek ini.

Sabtu, 27 Februari 2016

Perlukah Sertifikasi.....???

SERTIFIKASI PERLU ATAU TIDAK ?
SERITIFIKASI ?
Sertifikasi adalah pengumpulan bukti terhadap kompetisi seseorang. Bukti bukti yang dikumpulkan dengan cara uji tertulis, wawancara dan demo dengan soal soal yang diterjemahkan dari SKKNI yang berisi Elemen Kompetensi dan Kriteria Unjuk Kerja . Soal soalnya akan dibuat berdasarkan kluster dari kompetensi terbawah hingga teratas dari sebuah peran, contoh Kluster Guide – Trip Leader – Instruktur.
Bukti buktinya akan diselaraskan dengan porto folio yang diserahkan sebelum asesmen yang menjadi criteria persyaratan asesi mengikuti proses sertifikasi. Keselarasan bukti bukti yang dikumpulkan tsb akan telusuri oleh BNSP untuk menyatakan kebenaran hasil asesmen.
PROSES ASESMEN
Asesi diajukan oleh perusahaannya dengan memenuhi criteria yang ditentukan berdasarkan klusternya, terpenuhi sesuai akan mengikuti Asesmen Mandiri untuk menguji ruang lingkup pemahamannya dengan soal tertulis hingga dinyatakan Proses Asesmen Dilanjutkan. Nah dari situ mulai dilakukan asesmen tertulis – wawancara – demo.
Untuk mendapatkan bukti bukti proses tsb perlu diperhatikan terhadap rasio yang disesuaikan dengan kemampuan “handle”asesi secara akurat, waktu – durasi perorang / keseluruhan, fasilitas TUK ( Tempat Uji Kompetisi ) yang sesuai dengan kebutuhan keseluruhan asesi.
Kualitas Asesmen = Tujuan Kinerja Terapan ditempat Kerja
Asesor – asesor yang teruji dalam kompetensinya ( Hard , Soft & Meta Skill ) yang dinyatakan dengan porto folio dirinya; sertifikat tertinggi dalam bidang tsb sebagai syarat berlanjut kejenjang asesor ; sertifikat sebagai asesor. Bila tidak terpebuhi bisa dibantu dengan tenaga ahli yang memenuhi syarat di atas.
Rasio – rasio harus terpenuhi untuk untuk bisa terukur hasil observasi secara individual berdasarkan soal soalnya. Kalau tidak maka akan jadi bias dan sulit untuk mencatat tampilan individu yang dilakukan secara berkelompok, yang tiap orangnya akan diuji, misalnya dalam pengarungan.
Soal soal uji kompetensi
Soal soalnya harus berhubungan dengan Elemen Kompetensi ( EK ) & Kriteria Unjuk Kerja dan sesuai ( KUK ) klusternya. Terjemahan itulah yang dibuatkan dalam “Bank Soal” yang dibuat oleh seluruh asesor dan diparipurnakan sebagai hasil akhir soal soal yang akan dujikan. Hal itu untuk menjadikan soal soalnya sebagai standar nasional bukan pemikiran dan standar regional. Ditahun 2015 saya mengikuti Workshop Para Asesor terhadap adanya peraturan baru terhadap bukti bukti yang dikumpulkan harus terkoneksi dengan porto folio yang mudah dilacak saat asesor mengisi form pembuktian. Workshop itu juga membuat para asesor harus bekerja tambahan lagi untuk melakukan penyesuaian terhadap soal soal di KUK yang soalnya tidak lagi diterjemahkan tiap KUK satu EK tapi sudah bisa dibuat beberapa KUK yang berhubungan menjadi satu soal.
Bukti bukti Kompetensi
Kriteria kluster harus dipenuhi, semuanya harus tertulis dan ada jaminan ( sebagai bukti langsung, bukti tidak langsung dan bukti tambahan ). Bukti bukti uji kompetensi harus dikumpulkan dengan membuat scenario asesmen dan strategi manajemen waktu, saat sebagian uji tertulis yang lain uji demo, wawancara bisa juga dilakukan sambil demo. Rasio – perbandingan jumlah asesi dan asesor sangat berpengaruh terhadap hasilnya. Asesor hanya merekomendasikan Kompeten / Belum Kompeten dan BNSP yang menentukan hasil akhirnya berdasarkan pengujian bukti bukti yang terakit dengan porto folio.
LSP & Asesor
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa LSP hanya mengejar kuota; setiap asesi yang ikut sertifikasi sudah hampir dinyatakan kompeten; LSP tidak memperhatikan porto folio asesi yang sebelumnya sudah ikut sertifikasi ( karena kerja sendiri, rasio 50 : 1 ). Asesor bisa dipilih bukan karena senggang waktunya tapi juga karena bisa “diajak kerjasama” sesuai keinginan LSP bukan sesuai pemahaman asesor yang kompeten dibidang itu. Latar belakang Asesor yang tidak/kurang/belum cukup dalam kompetensinya sehingga asesor bisa jadi lebih rendah kompetensinya dari asesi sehingga pengumpulan bukti buktinya jadi asal apalagi kalu tenaga ahli ngga dipakai walau sudah ada.
Pembiayaan
Gratis ? berdasarkan pengalaman dan pengetahuan berhubungan dengan kementrian Pariwisata, anggarannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keseluruhan biaya operasional dengan jumlah Ruang Lingkup Kompetensi yang diuji dan target pertahunnya. Apalagi biayaTempat Uji Kompetensi ( TUK ) berbeda beda besaranya sehingga disarankan untuk bekerjasama dengan Dinas Propinsi untuk memenuhi anggarannya. Bila tidak cukup / tidak ada maka akan dibebankan kepada asesi. Nah ini dia muncul persoalannya, sehingga skenario asesmen menjadi disesuaikan dengan rasio asesor & asesi, fasilitas dan waktu, kok sertifikasi bayar khan ditanggung pemerintah ? ya begitulah resikonya. Gimana ceritanya untuk mereka yang ikut sertifikasi diawal ketika anggaran itu belum ada / baru keluar tahun berikutnya ?
Kontrol Kualitas
Hasil sertifikasi adalah Idealisme tujuan dan perilaku lanjutan didunia kerja bukan hanya menurunkan kecelakaan tetapi menjadi kesadaran akan perlunya Standar Tinggi kinerja. Karena ini berhubungan dengan kredibilitas operatornya yang tahun ini dimungkinkan akan dilakukan Sertifikasi Usahanya.
Seharusnya LSP “nyantol” kerjasama dalam kontrak kerja dengan Asosiasi karena berisi orang orang berkompeten dan teruji dalam sejarahnya. Sehingga ketika ada kuota sertifikasi dari kementrian, LSP & Asosiasi akan bekerja untuk mendistribusikan kuota berdasarkan regionnya. Kuota tsb didistribusikan ke pengda pengda bekerjasama dengan dinas pariwisata untuk mengundang operator operator yang sudah memenuhi syarat utk mengirimkan asesi yang memenuhi criteria. Hubungan Pengda pengda dan Dinas Pariwisata inilah yang bisa menargetkan dengan tepat sasaran dan kuota yang sesuai ( bukan sama bagi rata ).
Proses selanjutnya Pengda menerima Nama Calon Peserta untuk diajukan ke LSP & Asosiasi utk diperiksa kriterianya sehingga keluarlah NAMA PESERTA.
Semua Asesor menginduk ke Asosiasi untuk mengikuti Standar yang dibuat, rekomendasi penugasan dan sekaligus untuk memonitor kinerjanya. LSP juga mengeluarkan Log Book kinerja asesor sekaligus mencatat jumlah asesi yang sudah dilakukan dan nama nama asesi. Hal ini juga untuk mencegah adanya penolakan terhadap Asesor yang ditugaskan, karena Asesi berhak mengajukan keberatan di ases oleh Asesor tersebut misalnya karena alasan kompetensinya, hubungan “dendam” . Asesi juga bisa mengajukan banding bila Asesor menilainya tidak fair.
Hubungan koordinasi dan kerjasama dalam bentuk apapun di atas untuk memudahkan mengontrol kualitas, sebaran asesi & pemegang sertifikat, kebutuhan pengembangan lanjutan dll. Karena pemegang Sertifikat bila melakukan pelanggaran berat bisa dilakukan pencabutan, peninjauan ulang. Harapan terbesar kita adalah SERTIFIKAT bukan segalanya, pengembangan & review / upgrade perlu dijaga terus.
MRA & MEA
2014 , MRA – Mutual Recognition Arrangement
• ASEAN – Kesepakatan Mobilitas tenaga profesional sebagai bentuk pengakuan Standar Kompetensi Kerja dibidang pariwisata.
2015 , akhir 31 Desember MEA – Masyarakat Ekonomi ASEAN
• Pasar bebas dibidang Permodalan, Barang, Jasa dan tenaga kerja.
• ASEAN – Indonesia Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Brunei Darussalam, Vietnam, Kamboja, Myanmar & Laos.
• Kesepakatan para leader ASEAN di KTT – Kuala Lumpur Malaysia 1997 = pola EEC
• Deklarasi para leader ASEAN di KTT BALI Okt 2003 – berlaku tahun 2020
• Kesepakatan para leader ASEAN di KTT Singapura Nov 2007 – dipercepat pelaksanaan akhir tahun 2015
• Meningkatkan daya saing negara negara ASEAN – kekuatan ekonomi ke 3 setelah Tiongkok & Jepang.
• 12 sektor prioritas utama – industri argo, peralatan,elektronik, automotif, perikanan, industri karet, industri berbasis kayu & tekstil.
• 5 sektor – Jasa – transportasi udara, pelayanan kesehatan, pariwisata, logistik industri tehnologi informasi.
MASA DEPAN SERTIFIKASI
Ada gula ada semut, ada rating ada eksistensi, ada eksistensi tanpa jenjang berisi maka hasilnya Karbitan. Individu individu , kelompok kelompok dan organisasi organisasi bekerjasama untuk mengarahkan pemerintah mengeluarkan kebijakan jangka panjang menjawab akan kebutuhan asesor lebih banyak dimasa depan , begitu pula LSP. Dimungkinkan Provinsi akan membiayai kegiatan sertifikasi karena kebutuhan daerah, dan bisa menunjuk LSP yang bisa menjawab kebutuhan user dengan anggaran yang tersedia. Sehingga bisa keluar dari standard an idealism tujuan yang ditetapkan.
Asosiasi mengajukan nota protes berdasarkan pengaduan yang terlibat, para pemerhati dan kesenjangan kualitas. Seperti yang terjadi dengan sertifikasi Pemandu Gua yang tidak diketahui oleh Asosiasi yang berkompeten, karena LSP menurunkan Asesor Umum dan menurunkan tenaga ahli yang kriterianya dipertanyakan. Protes tersebut ditindak lanjuti kedepannya harus ada rekomendasi dari Asosiasi dan kerjasama yang jelas.
Sertifikasi sangat dibutuhkan untuk peluang kerja baik di Nasional maupun di Internasional, sekaligus menjadi ajang standar tetapi pola pikirnya bukan mengejar Sertifikat sebagai hasil akhir, SERTIFIKAT bukan segalanya. SERTIFIKAT harus menunjukan Kompetensi dalam Kinerja & PERILAKU, itu yang membedakan.
ASESORnya – adalah asesor asesor yang saat mengikuti Serfikasi Workshop Asesor adalah individu individu kompeten, berpengalaman panjang, public pigur, berasal dari region seluruh Indonesia. Sehingga sebaran asesor diberbagai daerah bisa terpenuhi dan memiliki respek disemua asesi & sekaligus mengurangi biaya operasional. Karena dengan itu juga akan bisa mudah membuat “Bank Soal” yang memiliki standar nasional. Asesor bertanggung jawab terhadap semua rekomendasi yang dikeluarkan KOMPETEN terhadap asesi…dalam waktu yang panjang dalam ruang lingkup Kinerja & Perilaku.
Mari kita telaah tulisan diatas, bagian mana yang menjadi bocor atau yang akan mengurangi kualitas, tujuan panjang & idealism kita dan mari kita perbaiki dengan mengetahui kerangka besarnya untuk menjadi lebih waspada.


Tonny Dumalang – Asesor AELI